WELCOME

Senin, 16 Juli 2012

BIOPORI




Biopori

Lubang resapan biopori adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Metode ini dicetuskan oleh Ir. Kamir R Brata, M.Sc, salah satu peneliti dari Institut Pertanian Bogor.
Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama biopori.
Membuat Lubang Resapan Biopori
Salah satu teknik pembuatan lubang resapan yang belakangan populer adalah teknologi biopori, yang dikembangkan Tim Biopori dari Bagian Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. “Teknologi ini sebetulnya bukan teknologi baru,” kata Wahyu Purwakusuma, Wakil Ketua Tim Biopori IPB.
Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah, seperti cacing dan rayap, untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki.
Tim yang diketuai Ir. Kamir R Brata, MS ini juga mengadopsi kondisi alam. “Kita lihat hutan tak pernah banjir, saat hujan lebat sekalipun. Itu karena di hutan banyak aktivitas biota tanah. Mereka membuat pori-pori di tanah, sehingga resapan hutan terus terjaga. Di hutan, makanan biota tanah juga selalu tersedia, yaitu daun-daunan dan sampah organik hutan,” lanjut Wahyu.
Untuk membuat biopori, dibuat lubang berdiameter 10 cm dan kedalaman 100 cm. “Kedalaman 100 cm ini dengan pertimbangan kebutuhan oksigen bagi biota tanah. Kalau di bawah 100 cm terlalu rendah, sehingga aktivitas biota tanah tidak efektif,” kata Wahyu. Lubang dibuat dengan bor tanah khusus yang dirancang Tim Biopori IPB. Panjang bor 120 cm, diameter bor 10 cm, dan panjang mata bor 20 cm.
Lokasi pembuatan lubang bisa dimana saja di bagian rumah, yang penting ada tanahnya. Lubang ini kemudian diisi dengan sampah organik. Jika sampah belum siap, disumpalkan saja sebagian di bagian atas lubang. “Tidak terlalu padat, tapi dimampatkan. Kalau penuh, jumlah sampah yang dimuat dalam 1 lubang mencapai 8 liter. Itu kalau hanya satu lubang. Idealnya, untuk 100 meter bidang kedap (bidang tanah yang ditutup bangunan) dengan perhitungan curah hujan 50 mm per hari (hujan lebat), butuh sekitar 30 lubang. Jika 30 lubang tadi dikalikan 8 liter sampah per lubang, berarti ada 240 liter sampah yang bisa ditampung,” lanjut Wahyu.
Sampah-sampah ini akan menjadi makanan biota tanah, lalu akan menjadi kompos yang bisa dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman. “Kalau tidak mau pakai, komposnya bisa diambil dan diganti sampah yang baru. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang resapan.”

Bisa juga memasukkan biota tanah (cacing, misalnya) ke dalam lubang untuk mempercepat proses. “Ada yang ingin membuat kompos di lubang bipori. Mereka membuat starter untuk mempercepat dekomposisi. Nanti dipanen pas kemarau pada saat tidak ada air.”
Sebetulnya, begitu lubang selesai dibuat, saat itu juga ia akan langsung berfungsi, meski biopori belum terbentuk. “Tapi sifatnya masih resapan pasif, belum ada kegiatan biota tanah yang membuat pori-pori tanah. Begitu ada biota tanah, sekitar seminggu-dua minggu setelah pembuatan lubang, maka resapan akan berfungsi penuh. Ini ditandai dengan bagusnya resapan. Air lebih cepat meresap ke tanah,” lanjut Wahyu.
Teknologi biopori ini sangat cocok bagi rumah tangga, karena sangat mudah dan hanya butuh ruang yang kecil. “Panjang mata bor hanya 20 cm, hanya mengebor untuk kedalaman 20 cm. Setelah 20 cm, tanah dikeluarkan dulu, baru kemudian dibor lagi. Tak perlu khawatir lubang ini bakal menjadi lubang persembunyian tikus atau ular. Tikus nggak suka lubang vertikal, karena kalau ia masuk, nggak bakal bisa keluar. Ular pun begitu. Apalagi nantinya ada sampah. Panas. Tikus nggak bakal mau.”
Pada edisi yang lalu, dalam rubrik Persona, Majalah Air Minum memuat hasil wawancara dengan Kamir R. Brata, dosen IPB yang menggagas Lubang Resapan Biopori sebagai teknologi tepat guna untuk mengatasi banjir dan sampah, serta untuk memelihara kelestarian air bawah tanah. Berikut ini adalah petunjuk cara membuat lubang resapan biopori tersebut. Mengingat segala manfaatnya, tidak ada salahnya jika anda mencoba untuk membuat lubang resapan ini di rumah atau di kantor anda.
Apa itu LRB ?
Lubang resapan biopori (LRB) adalah lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, kedalaman sekitar 100 cm atau jangan melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi sampah organik untuk mendorong terbentuknya biopori. Biopori adalah pori berbentuk liang (terowongan kecil) yang dibentuk oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman.
Keunggulan dan Manfaat LRB
LRB adalah teknologi tepat guna ramah lingkungan untuk meningkatkan laju peresapan air hujan dan memanfaatkan sampah organik ke dalam tanah. Manfaat LRB:
1. memelihara cadangan air tanah
2. mencegah terjadinya keamblesan (subsidence) dan keretakan tanah
3. menghambat intrusi air laut,
4. mengubah sampah organik menjadi kompos
5. meningkatkan kesuburan tanah
6. menjaga keanekaragaman hayati dalam tanah
7. mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh adanya genangan air seperti demam berdarah, malaria, kaki gajah dsb.
8. mengurangi masalah pembuangan sampah yang mengakibatkan pencemaran udara dan perairan
9. mengurangi emisi gas rumah kaca (COZ dan metan)
10. mengurangi banjir, longsor, dan kekeringan.
Lokasi Pembuatan LRB
LRB dapat dibuat di dasar saluran yang semula dibuat untuk membuang air hujan. Di dasar alur yang dibuat sekeliling batang pohon atau batas taman.
Cara Pembuatan LRB

Buat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter 10 cm, kedalaman sekitar 100 cm atau jangan melampaui kedalaman air tanah pada dasar saluran atau alur yang telah dibuat. Jarak antar lubang 50 sampai 100 cm.
Mulut lubang dapat diperkuat dengan adukan semen selebar 2-3 cm, setebal 2 cm di sekeliling mulut lubang.
Segera isi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal dari sisa tanaman yang dihasilkan dari dedaunan pohon, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur.
Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang menyusut karena proses pelapukan.
Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang.
Jumlah LRB yang Perlu Dibuat
Sebagai contoh untuk daerah dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), dengan laju peresapan air perlubang 3 liter/menit (180 liter/jam) pada 100 m2 bidang kedap perlu dibuat sebanyak (50 x 100): 180 = 28 lubang.
Bila lubang yang dibuat berdiameter 10 cm kedalaman 100 cm, setiap lubang dapat menampung 7,8 liter sampah organik, berarti tiap lubang dapat diisi sampah organik dapur 2-3 hari. Dengan demikian 28 lubang baru dapat dipenuhi sampah organik yang dihasilkan selama 56- 84 hari, di mana dalam kurun waktu tersebut lubang perlu diisi kembali.
Biaya yang Diperlukan
Pembuatan LRB akan dipermudah dengan alat bor tanah yang didesain disesuaikan untuk kegunaan peresapan air dengan pendekatan biopori. Alat bor LRB juga diperlukan untuk mempermudah pemanenan kompos yang terbentuk bersamaan dengan pemeliharaan LRB.
Bila I lubang LRB dapat dibuat dalam waktu 10 menit, tiap rumah tangga perlu membuat 30 LRB, berarti akan selesai dalam waktu 300 menit (5 jam) berarti perlu 1 hari orang kerja (Rp 35 000,-).
Bila setiap rumah tangga ingin memiliki bor LRB sendiri (harga bor Rp 175.000 – Rp 200.000), maka diperlukan biaya (Rp 205 000 – Rp 235 000). Biaya tersebut akan dapat berkurang bila I bor tanah dimiliki bersama oleh beberapa orang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar